Lukisan Alam Cikondang dan Peradaban Kuno Gunung Padang

 
Hal traveling itu semacam heroin: sifatnya mengikat lebih dari satu reseptor saraf di seluruh badan, membuat kita percaya sedang dibanjiri hormon endorphin — membuat tenang, nyaman dan senang, lalu secara ekstrim membuat seseorang ketagihan.
 
Saya rasa, sedikit banyak persamaan pandangan tentang traveling itu merupakan satu dari banyak hal yang menyatukan saya, C.J dan Iin. Kami berteman sejak zaman SMA, ketika hiburan umumnya terpusat di mall (dan kucing-kucingan dengan satpam karena tidak boleh masuk mall dengan seragam) hingga kini ketika kami hanya akan nge-mall kalau terpaksa.
 
Melalui masa-masa itu kami sudah survive beberapa trip bersama, konser Sheila On 7 di lapangan sekolah, berjam-jam diskusi tentang kehidupan, berbagai galau nya cinta anak-anak manusia yang memasuki usia early adulthood, sesi makan ramen dan sushi yang sudah tidak terhitung lagi berapa banyaknya dan main Lara Croft: Tomb Raider demi menghibur C.J yang terkapar karena DBD (contoh kurang baik, orang sakit bukannya disuruh istirahat malah dibujuk buat main xD). Perjalanan kali ini artinya bisa berbeda-beda bagi kami. Bisa juga dibilang perayaan ulang tahun saya, bisa juga perjalanan farewell karena C.J akan segera berlayar ke negeri orang. Bisa juga sekedar memenuhi kecanduan jalan kami sih.
 
Semua berawal ketika saya dan C.J kegirangan melihat sebuah paket tur ke situs megalitikum tertua dan terbesar di Indonesia: Gunung Padang. Konon katanya, situs purbakala yang bentuknya menyerupai piramida ini bisa membuktikan keberadaan peradaban pra-sejarah, bahkan lebih tua dari peradaban Sumeria di Timur Tengah, yang saat ini dipahami sebagai peradaban tertua di dunia. Sebagai anak Sejarah sejati (C.J) dan bolang yang pada dasarnya curious dengan segala sesuatu (saya), kami menyeret Iin yang sebetulnya tidak percaya dengan ilmu Arkeologi sama sekali untuk pergi melihat situs purba ini dengan mata kepala sendiri.
 
Satu dan lain hal muncul dan membuat kami terlambat memesan paket tur yang dimaksud (cih). Namun akhirnya setelah browsing sana-sini, kami membulatkan tekad untuk pergi bertualang bertiga.
 
#1 Persiapan Petualangan
 
Situs Gunung Padang letaknya di Desa Karyamukti, Cianjur. Perjalanan dapat ditempuh menggunakan kendaraan pribadi dan angkutan umum. Saran saya sih, pakai angkutan umum saja. Kecuali kendaraan pribadi kalian tahan jalanan off-road. Dari Jakarta, cara paling mudah dan membahagiakan hidup adalah jelas dengan menggunakan kereta api. Pertama-tama, naik kereta Commuter Line jurusan Bogor lalu turun di stasiun terakhir: stasiun Bogor (Stasiun Jakarta Kota – Stasiun Bogor: Rp 5.000, waktu tempuh 1 jam 20 menit).
 
Selanjutnya, kita perlu berganti kereta dengan KA Pangrango jurusan Cianjur. Turun di Stasiun Lampegan, satu stasiun sebelum stasiun Cianjur. Harga tiketnya untuk kelas ekonomi Rp 40.000 dan untuk kelas eksekutif Rp 85.000. Perjalanan memakan waktu sekitar 3 jam.
 
Kami mempersiapkan dua alternatif untuk mencapai situs Gunung Padang. Alternatif pertama dengan menyewa angkot (katanya Rp 200.000) pulang-pergi. Kalkulasi kami uang itu tidak terlalu mahal jika dibagi bertiga. Alternatif kedua adalah menggunakan ojek dengan harga Rp 100.000 untuk perjalanan pulang pergi ke Lampegan – Gunung Padang – Cianjur, belum termasuk pergi ke Curug Cikondang. Untuk perjalanan pulang, rencananya kami akan naik bus dari Cianjur sampai ke Terminal Kampung Rambutan (Rp 25.000). Ide besar kami setelah melihat foto-foto Curug Cikondang adalah berpiknik di area itu, maka kami membagi tugas. C.J mempersiapkan sarapan, saya mempersiapkan bekal makan siang dan Iin sebagai spesialis cemilan akan menjarah isi kulkas rumahnya (lumpia, brownies Bandung dan pisang keju) untuk meramaikan piknik akbar kami.
 
#2 Bogor dan Hal-hal Kecil Diantaranya
 
Serius nih, ini hal paling penting yang perlu diketahui dalam abad ini. Kereta api Pangrango dan Siliwangi yang melayani jurusan Bogor-Cianjur itu kereta yang maiden voyage nya baru dilakukan satu bulan lalu. Singkat cerita, ini trayek kereta baru. Pada e-tiket kereta saya tertulis Bogor – Lampegan yang saat itu saya imani hanya punya satu arti: naik dari stasiun Bogor, turun di stasiun Lampegan. Apa daya, ternyata ada stasiun kecil yang disebut “halte” kereta api Bogor Paledang. Halte Paledang dibangun khusus karena stasiun Bogor sudah tidak memiliki tempat lagi untuk menampung KA Pangrango. Letak halte ini sekitar 200 meter dari stasiun Bogor, letaknya berseberangan dan patokan nya adalah KFC di depan stasiun bogor. Dari samping KFC tinggal berjalan lurus saja untuk mencapai halte Paledang.
 
Bukan masalah kalau kami tahu dari awal. Masalah besar kalau kami baru sampai di Bogor pukul 07.45, 10 menit sebelum waktu keberangkatan KA Pangrango. Saya, C.J dan Iin saling berpandangan cengo waktu petugas loket stasiun Bogor menjelaskan sambil lalu tentang keberadaan halte Paledang. Kami berlari-lari setelah itu, karena meskipun menyenangkan berada di kota sejuk macam Bogor, kurang lucu nih kalau akhirnya kami piknik di kebun raya. C.J sempat tersandung dan jatuh di dekat KFC, menyisakan battlescar perjalanan ke Gunung Padang.

KA Pangrango

Perjalanan sampai ke Lampegan ditempuh dalam waktu 3 jam. Kami sarapan (roti, telur dan bacon ala C.J, I love you girl), mengobrol dan (berusaha) memotret pemandangan karpet sawah hijau yang menggantikan jalan-jalan besar dan siluet-siluet gunung di kejauhan. Duo bocah ini juga memberikan CD Ed Sheeran dan Jason Mraz untuk ulang tahun saya, dengan kartu ucapan yang belum ditandatangani Iin (kebiasaan). Pemandangan yang disuguhkan di luar sangat menyegarkan mata, dan dengan diiringi suara awak kereta yang menawarkan nasi goreng, mie instan dan jus jambu, saya bersyukur. Bersyukur kami berkesempatan melakukan perjalanan ini, bersyukur dengan pemandangan hijau di luar sana yang langsung mengingatkan saya bahwa sesumpek-sumpeknya Jakarta, Indonesia masih memiliki daerah-daerah hijau, deretan rumah-rumah sederhana dan saung-saung bambu di tengah sawah.

 
 
#3 Lukisan Curug Cikondang dan Terowongan Tua Lampegan
 
Sepanjang yang bisa saya ingat, air terjun sering sekali jadi model lukisan-lukisan alam di rumah-rumah saudara atau teman yang pernah saya kunjungi. Tukang-tukang taman di pinggiran jalan juga sering memamerkan karya mereka yang berupa miniatur air terjun, siap dipasang di rumah-rumah pemesan. Melihat Curug Cikondang hari itu, rasanya kurang lebih saya jadi paham kenapa.
 
Sekitar pukul 11.00 kami sampai di stasiun Lampegan. Stasiun ini adalah salah satu stasiun tertua di tanah air. Salah satu hal yang membuat stasiun ini terkenal adalah terowongan Lampegan, terowongan pertama yang dibangun di Jawa Barat pada tahun 1879 – 1882. Seperti halnya objek-objek tua pada umumnya, stasiun ini memiliki “aura” antik tersendiri. Kang Dadang, seorang tukang ojek yang mangkal di sana bercerita bahwa belasan tahun silam, ia dan setidaknya seorang teman akan berjalan sambil berpegangan tangan dan menyusuri rel kereta di dalam terowongan gelap tersebut dalam perjalanan menuju sekolah. Terowongan dan stasiun Lampegan ditutup pada tahun 2001 karena dinilai tidak layak untuk dioperasikan. Baru pada tahun 2010 terowongan dan stasiun Lampegan difungsikan kembali.
 
 
Dari Lampegan, kami akhirnya memutuskan untuk naik ojek. Hal ini karena ternyata, Lampegan sepenuhnya adalah daerah pedesaan (baca: nggak ada angkot, jek.) Angkot bisa dicarter kalau kita turun di Cianjur, yang kurang lebih adalah kota yang ramai, dilalui berbagai jenis angkot dan bis. Sebaliknya, Lampegan didiami oleh para petani, pekerja kebun teh atau pekerja tambang emas. Ojek merupakan usaha sampingan yang akhir-akhir ini laris manis semenjak Dede Yusuf dan Pak SBY mengunjungi situs Gunung Padang. Tawar-menawar dengan 3 orang babang ojek, kami sepakat di harga Rp 160.000 per ojek untuk perjalanan Stasiun Lampegan – Curug Cikondang – Situs Gunung Padang – Cianjur. Babang ojek dengan setia akan menunggu, mengantar hingga memastikan kami para pelancong dari Jakarta naik bus yang tepat (bus Marita) dari Cianjur ke Jakarta. Mereka juga bisa menjadi local guide karena telah menghabiskan sebagian besar hari-hari mereka di tempat ini, paham apa yang terjadi pra dan pasca situs Gunung Padang menjadi tenar dan pada dasarnya senang diajak mengobrol.

Satu hal yang saya perhatikan, nyaris semua orang di Lampegan berasumsi bahwa orang Jakarta yang datang ke sana pasti mau pergi ke Gunung Padang. Setidaknya untuk saat ini hal itu tidak buruk, sih. Namun pada tahun-tahun yang akan datang kemungkinan besar stasiun ini akan ramai dengan ojek yang langsung memberondong orang-orang “berlogat Jakarta” dan yang tidak berbahasa Sunda dengan penawaran ojek ke situs megalitikum tersebut.

Mengendarai ojek, saya dihadiahi kombinasi pemandangan hijau dan angin segar di sepanjang jalur menuju Curug Cikondang. Kombinasi ini adalah sesuatu yang bagi saya jarang dapat saya lihat di kota besar macam Jakarta. Perkebunan teh, udara yang bersih, angin yang sejuk; belum sampai Curug Cikondang saja saya sudah senang sendiri dengan pemandangan yang ada. Namun hal tersebut tidak bertahan terlalu lama karena segera sesudah itu jalanan aspal yang kami lalui berubah wujud. Saya belum pernah melakukan kegiatan off-road sebelumnya, jadi jujur saja, lumayan jantungan dengan perjalanan ojek. Jalanan nya berbatu-batu besar dan meliuk-liuk, mengingat ini adalah daerah perkebunan teh. Untungnya, babang ojek saya, Kang Dadang, sepertinya sudah berpengalaman membawa penumpang melewati jalur ini, karena tampaknya beliau santai-santai saja dan cukup menikmati perjalanan, sambil bercerita tentang pertambangan emas, tentang jalan-jalan yang bertahun-tahun lalu belum diaspal, tentang rute berjalan kaki yang dilaluinya dari dan ke sekolah, juga tentang kekecewaannya akan perusakan lingkungan seperti ini.
 
 
Menurut Kang Dadang, berbagai usaha sedang dilakukan untuk mengembalikan kehijauan beberapa bagian perkebunan yang sudah gundul. Namun tetap menyedihkan melihat ada bagian tanah yang gundul diantara rumpun-rumpun hijau Desa Karyamukti. Setelah melakukan kegiatan offroad berkendara selama 45 menit, kami akhirnya tiba di pintu masuk Curug Cikondang. Ada biaya masuk Rp 5.000 rupiah yang harus dibayar di sini. Dari pintu masuk, saya, C.J dan Iin perlu melewati jalan kecil yang menurun menuju Curug. C.J terjatuh sekali lagi di sini (mbak..sehat, mbak? :P) dan sukses keseleo. Saya tidak terlalu kaget sih, habis keseleo itu memang trademark nya C.J. Iin berusaha memberi penghiburan dengan menyatakan mungkin C.J salah pakai sepatu (dia lagi pakai sepatu running), belum sempat saya mengatakan apa-apa, yang bersangkutan sudah menepis pernyataan Iin. “Gue emang selalu keseleo kapanpun dimanapun. Di mall aja bisa kesandung.” 
Tawa dan pembicaraan kami terhenti karena saya menoleh ke sebelah kiri dan langsung berhenti bergerak. Ada pemandangan macam begini di sebelah saya.
 
 
*Mari mengambil waktu tenang sejenak untuk menikmati keindahan alam ini*
*Di otak langsung keputer lagu The Shire nya Lord Of The Rings*
 
 
Buat saya, rasanya seperti melihat lukisan jadi nyata. Karena hari biasa, Curug Cikondang betul-betul sepi. Pengunjungnya hanya kami bertiga, serasa curug milik sendiri. Saya, C.J dan Iin bermain air sebentar disini. Menikmati percikan air, banyak mengambil foto disana-sini (Iin: “Belom puas juga foto? Bawa pulang sekalian curugnya. Bawa pulang.”), dan makan siang sama-sama di saung yang ada di deket curug.
 
 
#4 Gunung Padang: Peradaban Purba di Indonesia
 
Puas main di Curug Cikondang, kami langsung berangkat menuju tujuan utama hari itu: Situs Megalitikum Gunung Padang. Perjalanannya sekitar 30 menit dari Curug Cikondang. Begitu masuk langsung disambut deretan warung di dekat gerbang depan. Tiket masuknya Rp 2.000 untuk wisatawan Indonesia dan Rp 5.000 untuk wisatawan asing. 
 
Situs Gunung Padang disebut-sebut sebagai struktur makam raksasa yang bentuknya menyerupai piramida. Sekarang ini sedang ada penggalian bear-besaran di sana, untuk kepentingan penelitian dan membuktikan bahwa sudah ada peradaban maju yang lebih tua dari peradaban Sumeria, peradaban tertua yang diketahui dunia saat ini. Dibanding piramida, sebenarnya struktur situs ini lebih mirip punden berundak, yang memiliki teras-teras seperti halnya Machu Picchu di Peru.
 
Gampangnya, penampangnya kelihatan seperti ini nih:
 
Gambar diambil dari sini
Saya, C.J dan Iin memanjat struktur ini melalui jalur yang telah dibuat khusus untuk wisatawan. Kaki C.J yang keseleo nggak memungkinkan kami mengambil jalur alami yang batuannya lebih terjal, meskipun katanya sih, waktu tempuhnya lebih singkat. Kami naik sampai ke teras ketiga dan  begini pemandangannya:
 

 

 
Banyak batu-batu besar khas situs megalitikum dan diduga teras ini berfungsi sebagai tempat pelaksanaan upacara-upacara dan berbagai ritual. Situs Gunung Padang pertama kali ditemukan oleh N.J Krom, seorang berkebangsaan Belanda. Kata C.J, catetan tentang penemuan situs ini pasti ada somewhere di Belanda, tapi semacam sudah dilupakan orang. Setelah itu sempat ada laporan juga dari masyarakat umum tentang situs ini, namun baru akhir-akhir ini akhirnya pemerintah menaruh perhatian serius, melakukan penelitian sekaligus tetap membuka situs ini untuk masyarakat umum.
 
Saya penasaran setengah mati dengan situs ini. Jadi, begitu melihat para bapak dengan kaos bertuliskan “Juru Pelihara Situs Gunung Padag”, langsung deh samperin dan tanya-tanya ke beliau. Beliau ini mempersilahkan saya untuk bertanya-tanya lebih lanjut pada pak Dani, arkeolog dari LIPI Bandung. Beliau kemudian menjelaskan bahwa berdasarkan pencitraan bawah tanah, tampak lorong-lorong dan ruangan-ruangan di dalam struktur situs Gunung Padang yang hampir dapat dipastikan adalah buatan tangan manusia. Ada beberapa artefak-artefak batu yang juga ditemukan dan diduga digunakan oleh manusia-manusia purba. Pembuktian secara ilmiah menjadi penting bukan hanya untuk Indonesia, tapi untuk dunia untuk melengkapi sejarah besar umat manusia. Pak Dani bilang, “Manusia zaman sekarang terlalu merasa diri paling hebat, menganggap manusia zaman batu adalah makhluk primitif. Padahal mungkin tidak demikian.” Saya menangkap kesan bahwa pak Dani juga ingin menyampaikan bahwa penelitian situs ini secara menyeluruh penting untuk mengingatkan manusia tentang sejarah mereka sendiri dan untuk menyadarkan manusia agar tidak terlalu bermegah diri.
 
Penggalian saat ini dilakukan di beberapa titik. Terlihat anggota-anggota ABRI membantu proses penggalian di situs Gunung Padang. Sekilas betul-betul mengingatkan pada adegan Lara Croft / Indiana Jones. Mudah-mudahan tidak ada informasi yang kemudian ditahan dari publik ya.
 
Curug Cikondang dan Gunung Padang jelas adalah salah satu harta Indonesia. Ada banyak rahasia dan petualangan yang ditawarkan tanah ini untuk para penduduknya. Senang bisa berkesempatan mengunjungi tempat ini, dan diingatkan kembali bahwa ada tempat-tempat yang berada dalam jangkauan langkah kaki dan kereta api, tempat-tempat menarik milik Indonesia yang perlu diperkenalkan juga kepada semua orang.
Ah, hampir lupa. Ini persembahan sunset dari Cianjur. Pemandangan terakhir yang menemani jalan saya kembali ke ibukota, dengan tekad menjelajah lebih banyak lagi tempat di Tanah Air.

Published by reylasano

she writes your stories

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: