![]() |
Photo beautifully captured by Jeddy Prionggo (JP) |
“Dalam diri masing-masing kita terdapat serat-serat angkasa dan debu-debu bintang, sisa-sisa dari penciptaan kita. Kebanyakan orang terlalu sibuk untuk menyadarinya sementara beberapa orang dapat merasakannya lebih kuat dari yang lain. Kesadaran tentang hal itu bertanggung jawab untuk semua keinginan bawah sadar; paling kuat dirasakan oleh kami yang terbang, sebuah hasrat yang mendorong kami untuk memakai sayap-sayap, dan mencoba memahami batas-batas kabur tentang asal-usul kami.” -KO Eckland
“Bagaimana mungkin kamu tidak rindu untuk terbang?” Gue rasa hal itu yang paling ingin ditanyakan sama KO Eckland, seorang penerbang, ilustrator dan pecinta musik jazz dari Cleveland, Ohio, melalui kata-katanya di atas. Menurut beliau kita ini memiliki residu komponen-komponen langit, sisa-sisa serat angkasa dan bubuk debu bintang di dalam diri masing-masing. Jadi, wajar jika langit memanggil kita untuk menjelajahinya. Manusia terlalu lama berpijak di tanah, lupa seluas tanah di bumi, seluas itu juga –bahkan mungkin lebih– cakrawala di atas sana yang dapat dijelajahi.
Setelah pengalaman kabur ke Puncak hari Selasa lalu, rasa-rasanya gue paham sama omongannya si Eckland. Langit, kapanpun dilihat selalu menawarkan pemandangan yang berbeda. Pemandangan anggun matahari terbit atau terbenam, pemandangan langit biru yang cerah atau kelabu berawan, pemandangan langit malam yang kadang berbintang dan kadang tidak.
Gue sering mikir. Apa ya rasanya, bergerak di ruang terbuka itu, waktu kaki nggak menginjak tanah. Apa iya karena takdirnya di tanah, lalu manusia cuma bisa menatapi langit? Waktu masih polos, imajinasi gue sedikit lebih liar. Terinspirasi gula-gula kapas yang nyaris tiap tahun gue makan di PRJ (kalo nggak di PRJ nggak boleh makan gula-gula kapas. Aturan emak-bapak gue dari dulu emang aneh-aneh), gue jadi bertanya-tanya, awan juga bisa dikunyah nggak ya? Bentuknya sama.
Mulailah sindrom penasaran gue dan setelah browsing Internet kanan-kiri, gue menemukan beberapa hal berikut:
#1 Base Jumping
![]() |
Foto dari Asosiasi Base Jumping Indonesia |
Base Jumping disebut-sebut sebagai salah satu olahraga paling ekstrim. Jumper melompat dari base (yang bisa berupa gedung, tiang, patung atau bangunan lain) tanpa membuka parasut terlebih dahulu. Sebenernya mirip-mirip terjun payung, tapi waktu jatuh bebas (free fall) tanpa parasutnya lebih singkat. Di Indonesia ada Asosiasi Base Jumping dan anggotanya termasuk jumper pertama di Indonesia, Frangky Kowaas dan Petra Mendagi. Foto di atas adalah foto bung Frangky Kowaas yang melompat dari Menara Imperium Kuningan, Jakarta tahun 2009 silam.
#2 Skydiving / Skysurfing
Ini olahraga terjun bebas dari pesawat. Ada free fall dan parasut dibuka di ketinggian tertentu. Jadi untuk sekian menit kita melayang-layang di udara tanpa parasut. Awalnya gue mencari-cari tempat untuk melakukan skydiving. Ada yang mencatat wilayah Bogor dan Lido sebagai arena untuk melakukan skydiving, masalahnya kebanyakan yang melakukan kegiatan ini sudah berlisensi profesional. Gue agak kesulitan menemukan skydiving tandem (melompat bersama orang lain yang sudah ahli melakukan skydiving). Setelah mencari-cari opsi lain gue menemukan ini:
#3 Paragliding (Paralayang)
Beda dengan skydiving yang adrenalinnya diperoleh dari meloncat bebas tanpa parasut untuk waktu tertentu, paralayang menggunakan parasut yang sudah dikembangkan dari awal. Tinggal berlari dan melompat. Buat mencoba paragliding ini gue menghubungi tim MountNear di daerah Puncak. Kalau belum bisa sendiri, kita bisa memilih terbang tandem. Terbang tandem artinya akan ada master paragliding, atau pilotnya yang terbang bersama-sama kita. Kitanya sih duduk aja, anteng.
![]() |
Beres-beres parasut sebelum terbang (JP) |
Paralayang terkenal akan kepraktisan alat-alat yang digunakan. Parasut yang digunakan (parasut utama dan cadangan) dapat dimasukkan ke dalam sebuah ransel yang digendong di punggung. Jadi begitu selesai main, parasutnya bisa langsung dibungkus lagi ke dalam ransel.
Sambil terbang, si pilot tandem ngajakin gue ngobrol. Beliau menjelaskan tentang updraft (gerakan udara ke atas, arus vertikal) yang dibutuhkan saat paragliding agar parasutnya bisa membawa kita terbang ke atas. Waktu gue tanya soal apa si pilot pernah ikutan skydiving, dia langsung ketawa dan bilang kalo nggak berani. Gue yang sempet niat banget mau cobain skydiving pun bertanya, “kang, emang udah berapa lama main paragliding?” si pilot pun menjawab “Udah 14 tahun nih jadi pilot. Ini bulan depan mau ikut kompetisi di Phuket.”
14 tahun. Kalau dia aja yang udah 14 tahun jadi pilot paragliding masih nggak berani terjun bebas buat skydiving….. mungkin udah saatnya gue cari tau lebih banyak tentang skydiving itu sendiri. Selagi gue tenggelam dengan pemikiran itu, pilot tandem mulai memutar-mutar parasut, gerakan parsut jadi circling perlahan. Beliau menjelaskan bahwa ini caranya untuk menambah ketinggian dan gue tentu saja semangat karena memang naik semakin tinggi.
Cuma 1 hal: makin naik ke atas makin sulit bernafas. Gue lupa pelajaran IPA zaman SMP yang menjelaskan bahwa di tempat tinggi molekul udara semakin tipis dan jantung akan dipaksa bekerja lebih keras, hasilnya jadi berdebar-debar. Lalu jadi merasa capek, padahal itungannya cuma jadi penumpang yang duduk diam menikmati langit.
Si akang pilot tandem tampaknya menyadari bahwa gue nggak biasa main paragliding, maka beliau pun menyarankan kami landing saja. Gue terbang kurang lebih selama 7 menit. Tadinya waktu dikasih tahu waktu di udara hanya 5-10 menit, gue sempet mikir: cih, sebentar banget dong ya. Ternyata itu semua ada alasannya saudara-saudari. Kalau tidak terbiasa terbang dengan ketinggian seperti itu, maksa untuk berlama-lama terbang justru akan membahayakan diri sendiri.
![]() |
Terbang. Akhirnya. (JP) |
Gue inget banget, angin sejuk Puncak, cuacanya yang berawan, petak-petak perkebunan teh di bawah gue, semuanya itu memberi sensasi tersendiri. Rasanya jelas berbeda dari sekedar mengamati pemandangan dari kaca jendela pesawat. Bagi gue, waktu terbang itu rasanya gue menyatu dengan langit. Meskipun beberapa orang secara spontan nanya, “Bahaya nggak tuh?” atau “Elu nggak takut?” ketika mendengar gue menyampaikan keinginan buat main paragliding, gue nggak bisa bilang ini olahraga memacu adrenalin. Apa mungkin karena gue terbang tandem dan sepenuhnya mempercayakan nyawa gue ke si pilot tandem ya?
Buat gue rasanya bebas dan tenang. Gue jadi sedikit paham keras kepalanya para pilot atau kenapa mereka-mereka yang disebut adrenaline junkie nggak juga berhenti melakukan kegiatan ini. Karena bukan sekedar menantang maut, masbro, mbaksist, ini perihal mendeklarasikan kebebasan dan ketenangan diri sendiri. Ini tentang mengekspresikan rasa ingin tahu dan menembus batas “biasa”. Dan selalu, rasa syukur yang mengikuti itu berlimpah-limpah. Bumi Puncak kelihatan jauh lebih cantik dilihat dari atas. Rasanya gue nggak akan melihat Puncak dengan “biasa” lagi sejak diijinkan buat melihat penampakannya dari langit.
Paramotor & Paragliding Indonesia
mountear.com
Tandem Flight:
Rp 350.000 / flight (+ Rp 100.000 untuk video + foto dengan kamera GoPro)
support@mountnear.com
info@mountnear.com
+62818-14-3508
DISCLAIMER:
Semua foto dan video diambil oleh manusia-manusia gembira dan berbakat: Angelika Cindy W / Jeddy Prionggo / Filipus Prionggo. Kepada mereka gue berhutang semua dokumentasi kegiatan paralayang ini, karena kamera GoPro tim Mountnear diboyong semua untuk kompetisi di Manado, dan gue terlalu nggak percaya dengan tangan sendiri untuk memegang handphone sambil terbang.
Kalau kata Filip (tentang gue ngambil selfie sambil terbang): “Udah dah. Byebye hape. byebye.” Mengikuti saran semuanya, gue meninggalkan hape dan berserah sepenuhnya pada tiga orang ini untuk mengabadikan momen-momen selama paralayang di Puncak. Terimakasih banyak ya kalian!