Mendaki Papandayan

Pada dasarnya, gue ini emang anak alam. Gunung, pantai, danau — apapun yang judulnya bertualang di alam bebas umumnya membuat gue bersemangat dan tertarik. Rasanya seperti di rumah sendiri kalau berada di alam, dan banyak hal yang bisa ditemukan dalam perjalanan menjelajah alam.
Entah sejak kapan, gue merasa ada sesuatu yang lebih selain sekedar menikmati siluet hangat matahari terbenam, atau sensasi geli karena pasir dan ombak yang bermain di kaki, atau bau rumput dan daun basah di gunung. Dibalik semuanya itu selalu ada momen gue bisa mensyukuri apa yang ada, merasa disapa Tuhan lewat pemandangan-pemandangan itu dan selalu ada refleksi ke dalam diri sendiri yang bisa dilakukan, setiap kali gue hiking, naik gunung, atau berenang di pantai. Gue rasa setiap orang memang butuh channel sendiri untuk berefleksi, meditasi atau merenungkan ulang kehidupan, dengan caranya masing-masing. Karena tanpa itu, ribuan momen dan hal-hal yang terjadi dalam hidup akan lewat begitu saja, tanpa kita bertumbuh melaluinya. Sibuk sih, setiap hari. Jadi nggak ada waktu untuk berpikir mendalam tentang hidup. Bertualang di alam memaksa gue untuk hening sejenak, dan belajar mendengar. Menutup mata dan mencoba mendengar suara detak jantung sendiri setelah susah payah mendaki gunung. Menghirup nafas dalam-dalam dan mencoba mendengar suara sebenarnya dari ombak yang pecah di pantai, mencoba tekan tombol mute untuk suara-suara lain, baik itu suara pikiran sendiri, suara pedagang yang menjajakan jajanan, atau suara teman-teman yang riuh bermain air. Momen-momen seperti itu biasanya jadi saat-saat gue bisa kembali membulatkan tekad, balik lagi, ke track yang bener kalau selama ini ternyata sudah melenceng jauh. Momen-momen yang gue harap bisa terjadi lebih sering.
Perjalanan alam yang jadi highlight tahun lalu adalah mendaki Papandayan. Gue suka dihina-hina kalau menyebut Papandayan sebagai gunung. Kata banyak orang, “Papandayan mah bukit!”. Tapi berhubung Papandayan itu tingginya 2.665 meter, pernah meletus dan menghancurkan 40 desa juga menewaskan 2.957 orang di tahun 1772, dan dinyatakan masih aktif dengan kawah dan lubang magma yang dapat dengan mudah terlihat — yak, Papandayan sangat memenuhi syarat untuk disebut sebagai gunung. Maaf saudara-saudari di luar sana yang kukuh dengan pendirian bahwa Papandayan itu bukit, tapi bukit nggak meletus, percayalah.
yang begini dibilang bukit? Bercanda ya?
Setelah berunding dengan Cinday dan Pingi, akhirnya diputuskan Desember 2014 lalu kami akan mendaki Gunung Papandayan. Ini pendakian Papandayan yang pertama kalinya buat gue dan mungkin yang ke-entah-berapa-belas-kalinya bagi Cinday dan Pingi. Menganut agama the more the merrier, kami menyeret Pilip, JD (bacanya Jeydih), dan Herman untuk meramaikan pendakian (baca: memaksa pria-pria ini jadi porter. Ha-ha).
Gue inget hari itu, 11 Desember 2014, ada banyak hal yang terjadi sekaligus. Ada seseorang yang penting yang lagi liburan di Jakarta dan sebisa mungkin gue pengen menghabiskan waktu bersama anak ini. Maklum ya bapak-ibu, kalau lagi nggak di Jakarta, orangnya jauh dan secara fisik nggak bisa dijangkau. Jadi gue mengiyakan ajakannya untuk melewati siang bersama sebelum sore nanti meluncur ke Semanggi untuk bertemu Cinday cs, naik bus ke Kampung Rambutan, tidur di perjalanan dan bangun-bangun sudah di Garut. Itu rencana sempurna gue. Tapi namanya juga hidup. Hal yang tidak terduga bisa terjadi kapan saja.
Singkat cerita, rencana melewati siang merembet jadi melewati sore juga, dan gue sukses dicerca oleh Cinday. Waktu akhirnya menyusul ke Kampung Rambutan, Cinday dan Pilip sih kelihatan banget capeknya, dengan JD berusaha tetap menceriakan semua orang, padahal dia yang paling capek karena menunggu gue yang nggak tau diri ini di Semanggi dari jam 4 sore (JD, besar upahmu di surga nak. Maafkan saya yang khilaf ini). Pingi dan Herman juga belum sampai, karena stuck dengan kisah ban motor bocor dan bus yang tidak kunjung datang. Setelah menunggu yang rasanya berabad-abad, berusaha menceriakan Cinday dan Pilip, dipelototin Pilip karena berani-beraninya nge-charge HP di counter pulsa di terminal, beli cemilan bersama JD di Indomaret dan terheran-heran kenapa di terminal nggak ada ATM, Pingi dan Herman akhirnya sampai. Setelah merapikan tas dan memastikan tidak ada yang tertinggal kami akhirnya naik bus menuju Garut dan resmi memulai perjalanan.
Gue kasih tau ya, bus Garut berhenti di beberapa titik dan pedagang-pedagang tahu, jeruk, tissue dan lain sebagainya melompat ke dalam bus, berteriak dengan sangat keras dan bahkan menyalakan senter supaya para penumpang bangun. Gue butuh waktu beberapa saat untuk mencerna apa maksudnya orang-orang ini bawa-bawa senter dan menyorotkannya ke wajah orang-orang yang tidur. JD yang duduk di sebelah gue malah lebih terganggu karena bau rokok dari smoking room (iya, busnya punya smoking room) di belakang bus. Dia memutuskan untuk beli jeruk demi meng-counter bau rokok. ‘Jey, meskipun elu nggak nyium bau rokoknya, efek untuk perokok pasif yang elu benci itu kan nggak hilang………….’ begitu pikir gue saat itu, tapi berhubung tampang JD udah senewen, gue memutuskan untuk mendukung saja semangat berapi-apinya untuk mengupas jeruk. Daripada ditimpuk jeruk kan.
Pukul 2 pagi kami sampai di Garut. Bergabung dengan para pendaki lainnya, kami menyewa angkot. Selanjutnya harus menyewa mobil pick-up bak terbuka dan gue menikmati angin subuh yang dingin dan langit yang sedikit mendung hari itu. Sempat terpikir, kalau ibunda melihat putrinya naik mobil model begini di bak-nya, dijamin langsung didaulat untuk turun. Si mami bakal dengan segera mengkategorikan duduk-duduk di pick-up bak terbuka sebagai kegiatan radikal yang meneriakkan kata “pemberontakan” dan “berandal” dengan keras. Tapi sungguh, tidak seburuk itu. Lebih banyak sisi lucu dan serunya. Lagipula, untuk melawan dingin memang perlu banyak-banyak tertawa.
selamat pagi dari kaki Papandayan
Hujan mengawali pagi kami dan sambil menyeruput kopi dan teh, kami memandangi awan tebal di atas gunung, awan yang membawa hujan. Di dekat kami ada kelompok partai politik yang dengan bersemangat mengadakan apel di tengah-tengah hujan. Semakin keras komandan upacara berpidato, semakin deras hujannya. Karena tidak tahan, para peserta membubarkan diri. Kalau di Paskibra, itu namanya bunuh diri. Anggota pasukan hanya dapat bergerak dengan mematuhi perintah komandan. Jadi kalau hujan dan komandan tidak memerintahkan untuk bubar, yasudah nikmati saja guyuran hujan. dan benar saja, si komandan yang ditinggal di lapangan langsung ngamuk, memerintahkan dengan segera supaya semua peserta kembali ke lapangan. Gue dan yang lain kontan ngakak. Kasihan juga sih, sebagian dari mereka berdiri sampai gemetaran.
Gue lupa siapa yang ngomong. Mungkin Pingi, mungkin juga Herman. Mereka menyusun teori bahwa kelompok parpol ini adalah pembawa hujan. Kemanapun mereka pergi, awan hujan akan mengikuti mereka dan ada baiknya kami menghindari bepergian bersama kelompok ini. Awalnya gue menganggap teori itu bercandaan di pagi hari. Tapi betulan, setelah kelompok parpol itu akhirnya menyelesaikan upacara, matahari mulai menampakkan diri dan langit perlahan-lahan jadi cerah. Kami mempersiapkan diri, mengangkut tas, mengambil foto-foto, menyeruput sedikit minuman hangat lagi dan mulai mendaki. Pingi dan Cinday sudah cerita, Gunung Papandayan itu bisa didaki dengan cukup cepat, berbeda dengan Gunung Gede. Tapi pendakian bisa lebih lama karena Papandayan menawarkan pemandangan cantik kawah-kawah, hutan-hutan hijau, hutan-hutan mati dan pemandangan menarik lainnya. Beberapa menit berjalan saja gue udah langsung paham maksud Cinday dan Pingi.
Janji teman seperjalanan untuk melibatkan sebanyak mungkin tawa dan keceriaan
Pemandangan awal yang disuguhkan oleh Gunung Papandayan adalah batu-batu besar. Jalannya dipenuhi dengan bebatuan, semuanya warnanya kuning-cokelat dibingkai campuran kabut dan asap dari kawah-kawah di bawah kami. Jalannya belum terlalu menanjak.
Gue memang baru dua kali mendaki gunung. Pendakian pertama dilakukan di Gunung Gede, untuk merayakan ulang tahun ke-23. Saat itu tim pendakian hanya beranggotakan tiga orang. Ternyata, memang lebih seru mendakai berama-ramai seperti ini. Gue selalu berpikir kalau mendaki gunung itu betul-betul seperti melihat hidup. Perjalanannya tetap sendiri-sendiri, masing-masing membawa beban sendiri-sendiri, tapi seperti yang Cinday bilang, “gunung itu tetap harus didaki dalam kelompok.” Seperti halnya hidup, yang tidak bisa dijalani sendirian. Manusia itu makhluk ringkih sih, kita mah apa dibanding segala kekuatan besar lainnya yang mengelilingi kita.
Herman dan Pingi percaya gue bisa akrobat cium lutut sambil iket sepatu.
Mereka juga percaya kami cocok jadi model untuk poster film.
Yang gue syukuri adalah karena perjalanan ini dilakukan bersama teman-teman yang stok energi dan keceriaannya luar biasa banyaknya. Nggak ada yang bilang mendaki gunung itu mudah, bahkan gunung dengan medan cenderung “rata” seperti Papandayan sekalipun. Jadi kalau mendaki gunung dengan geng yang grumpy dan mudah terusik dengan hal-hal yang membuat tidak nyaman (keringat, bawaan yang berat, jalan yang menanjak, matahari yang terlalu menyengat dan lain sebagainya), perjalanan akan sulit dinikmati. Kalau gue ingat-ingat lagi sekarang, banyak hal-hal konyol yang kami lakukan selagi menanjak. Mendiskusikan kemungkinan kami dikejar oleh si parpol pembawa hujan, mendiskusikan kehidupan percintaan selagi terengah-engah menanjaki jalan berbatu,  berdebat apakah yang warnanya putih-putih itu asap, kabut atau awan (??) sampai menggoda pasangan dalam tim kami yang tampaknya lagi latihan pose foto pre-wedding.

Adalah Pingi, yang sekali dalam setahun bisa ambil pose merenung dengan serius macam ini
Setelah berjalan hampir satu jam, kami tiba di kawasan kawah yang mengeluarkan bau sulfur yang menyengat. Awalnya gue pikir itu bau telur rebus, lalu “mungkin telurnya kelamaan direbus ya. Baunya jadi aneh.”, lalu “sebentar, ini macam bau telur busuk.” Lalu Herman dengan kalemnya menjelaskan, “Ini bau belerang. Ga enak kan baunya? Itu pertanda nggak bagus buat badan. Marilah bergegas menyeberangi area ini.” *pasang muka cool*
…..Ngomongnya dari tadi bisa kali Man.
Setelah melewati kawah-kawah belerang, kami mulai disuguhi pemandangan hijau. Gue udah mulai bertanya-tanya, ini gunung apa tumpukan batu? Daritadi yang kelihatan hanya batu-batu berbagai jenis, bentuk dan ukuran. Maka ketika mata menangkap barisan pepohonan, kami berhenti lagi untuk mengambil foto. Gue rasa, perjalanan pendakian Papandayan ini lebih cocok disebut hunting foto daripada mountain climbing.
Lama-lama encok si Herman
JD udah siap guyur orang pake air. Dia lupa nggak ada yang lagi ulang tahun.
Hal unik yang nggak gue temukan dalam perjalanan sebelumnya adalah bagaimana semua orang menikmati kegiatan masing-masing sambil tetap berada di dalam kelompok. Pingi dan Herman berbagi musik, Cinday dan Pilip berbagi cinta *eh*, entahlah mungkin mereka mendiskusikan prospek Gunung Papandayan sebagai tempat untuk prewedding photoshoot mereka, dan JD si ahli biologi sibuk mengamati segala jenis hewan dan tumbuhan yang ditemuinya (kalau nggak dilarang gue rasa dia akan ngantongin semua sampel tanah, batu, daun dan lain sebagainya).
Gue? Menghirup rakus udara segar pegunungan dan memikirkan tentang hal-hal yang terjadi sepanjang tahun 2014. 2014 banyak memberi ruang buat gue mengeksplor diri sendiri, mempertanyakan hal-hal yang selama ini gue terima aja, memberanikan diri melihat lebih dalam dan mengakui bahwa banyak hal yang selama ini gue take for granted. Persahabatan, salah satunya. Saking terbiasanya dengan manusia-manusia luar biasa di sekitar gue, gue suka lupa kalau mereka mungkin nggak akan ada di sini selamanya. Saking terbiasanya dengan kehadiran seseorang, gue lupa untuk memberitahu mereka kalau dunia gue nggak akan sama kalau mereka nggak ada.
Karena gunung selalu menarik keluar refleksi macam begini, persiapan mental jadi lebih diperlukan dibanding ketika pergi main ke pantai. Gue inget waktu pendakian pertama kali ke Gede, salah satu ranger di sana ngomong begini ketika tahu itu perjalanan pendakian pertama, “If you do it right, in front of the mountain you will lay open like a book. An open book for yourself.”
Mungkin itu sihirnya gunung buat gue ya. Belum tentu juga sih yang lain merasakan hal yang sama. Sementara itu, perjalanan semakin menanjak. Batu-batuan dan kawah sekarang sudah digantikan dengan pemandangan hijau, tanah yang gue injak bukan lagi tanah yang kering kecokelatan, tapi sudah rumput-rumput hijau. Rasanya seperti sedang menembus pedesaan. Gw spot JD bertampang seperti ini dan langsung tertawa. JD memang cocoknya berada dikelilingi alam seperti ini ya.

Gue inget di satu titik di pendakian Papandayan Desember lalu, gue bertanya-tanya dalam hati apakah jalur kami ini adalah jalur yang benar. Tanjakannya mulai terasa berat, semuanya sudah berhenti haha-hihi sana-sini, kaki JD sudah kram beberapa kali dan pada dasarnya semua orang sudah lelah. Gue beberapa kali menangkap ekspresi wajah ragu dari Herman, yang memimpin jalan hari itu, tapi dia mencoba stay cool aja dan memutarkan lagu Dust in the Wind nya Kansas.

Karena udah capek banget, biar nggak menjadi-jadi gue mencoba memusatkan konsenterasi dengan mendengarkan lirik lagu yang diputar Herman keras-keras dari hapenya. “I close my eyes, only for a moment and the moment’s gone. All my dreams, pass before my eyes a curiosity.” Lalu mendadak disuguhin pemandangan ini.

Gue berhenti sebentar, menutup mata, mendengarkan bunyi jantung yang berdebar keras karena habis menaiki tanjakan panjang, mendengarkan suara-suara di sekitar gue dan tiba-tiba merasa memahami lirik lagunya si Kansas itu. “close my eyes, only for a moment and the moment’s gone.” Gue mencoba mengingat, momen apa ya, di 2014 yang rasanya lewat begitu saja saat gw menutup mata? Lalu yang terpikir malah, rasa-rasanya 2014 lewat begitu saja. Saking cepetnya waktu berlalu. Gue membuka mata dan mikir, oke cukup perenungannya. Malah jadi depresi. Hahahaha.

Ketika akhirnya sampai di Pondok Seladah, kami mendirikan tenda dan mulai memasak. Pondok Seladah ini daerah lembahan, dan dinginnya ampun-ampunan. Bisa gemetar sampai ke tulang. Suhunya sih berkisar 15-17 celcius, tapi ketika angin bertiup… mak. Pilihan paling logis jelas adalah meringkuk dalam sleeping bag yang hangat di tenda. Tapi ini gunung, di malam hari. Ada satu pemandangan yang demi apapun nggak akan gue lewatkan: bintang. Jika cuaca cerah, berada di ketinggian seperti ini, jauh dari lampu-lampu kota dan polusi, langit akan memamerkan starry night show yang tidak ditemukan di tempat lain. Gue bergabung dengan Pingi dan Herman yang merapatkan diri di dekat api kecil parafin, sambil membawa sebungkus marshmallow untuk dicemil ramai-ramai.

Baru tau kalau marshmallow dan malam berbintang adalah pasangan yang romantis

Ketika mendongak, gue bisa melihat ribuan bintang. Ribuan bintang memenuhi langit seperti berdesak-desakan. Dan gue nggak pernah nggak terpesona dengan langit berbintang. Langit berbintang adalah lukisan alam yang paling gue suka, nomor satu, diikuti pemandangan sunset dan hujan. Sayangnya kamera hape nggak cukup canggih untuk menangkap masterpiece di langit Papandayan malam itu, dari ketinggian 2.400 mdpl. Herman berbisik pelan, “bersyukurlah karena kita disuguhi pemandangan ini, padahal dari pagi tadi langitnya mendung.”

Tiruan pemandangan ini, dua malam sebelumnya gue saksikan di langit-langit Planetarium Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Ketika menyaksikan pemandangan aslinya, nggak ada yang lain yang gue harapkan selain bisa teleport orang-orang yang gue sayang untuk berdiri di samping gue malam itu (selain yang udah ada di sana) dan menunjukkan pemandangan itu. Dan untuk berterimakasih kepada mereka karena mereka membuat gue merasa seperti pemandangan ribuan bintang itu: beautiful, precious and loved. Bisa dibilang diantara semua pemandangan indah yang disuguhkan Papandayan, pemandangan langit malamnya adalah pemandangan favorit gue. Setelah menemukan Orion dan Sagitarius (dengan bantuan JD), gue menyerah dengan udara dingin dan kembali ke tenda.

Paginya, kami kembali mendaki, melewati hutan mati dan menuju Tegal Alun, padang Edelweiss di Gunung Papandayan. Pagi ini, karena sudah beristirahat dan sarapan enak, semuanya sedikit lebih bersemangat.

Three musketeers

Gue nggak tahu harus merasa apa soal hutan mati. Di satu sisi, gue bisa bilang itu hutan memang punya pemandangan yang bisa bikin terdiam sesaat. Kesannya misterius dan sunyi. Gue juga paham kenapa hutan mati Papandayan disebut-sebut sebagai “Alpine” nya Indonesia.

Masalahnya, Alpine itu ya meranggas karena musim dingin, yang ini kan karena pohonnya benar-benar sudah mati. Pohon-pohon ini menjadi pohon mati ketika Gunung Papandayan meletus ratusan tahun lalu. Kalau dipikir-pikir, mendadak gue merasa kecil sekali ketika berada dikelilingi pepohonan itu. Mereka sudah ada disana ratusan tahun lalu. Ratusan tahun lalu, seperti apa tanah di tempat ini? Dunia ternyata sudah tua sekali ya.

Happiness is contagious, believe me.

Yang langsung terasa di hutan mati adalah betapa panasnya tempat itu. Gue selalu mengasosiasikan daerah tinggi dengan udara yang bersih dan sejuk, dengan panas matahari yang ditahan oleh rimbunan pohon-pohon. Berhubung pohon disini memang tingal batang, ya apa mau dikata. Setelah puas foto-foto di hutan mati, kami melanjutkan perjalanan. Tujuan akhir dari pendakian Papandayan adalah mencapai Tegal Alun, hamparan Edelweiss seluas 35 hektar. Waktu mendaki Gede dulu, gue nggak mampir ke Surya Kencana, jadi belom sempat melihat seperti apa sih bunga yang disebut-sebut sebagai bunga abadi itu. Jalan menuju Tegal Alun ternyata masih didominasi oleh tanjakan-tanjakan kejam. Di sebagian besar tanjakan itu sudah disediakan tali untuk membantu pendaki, sesuatu yang oleh Pingi disadari sebagai sesuatu yang baru.

Diberkatilah siapapun itu yang menaruh tali disana

Ngomong-ngomong soal pendakian, nyokap adalah orang yang paling nggak rela setiap kali anaknya menggendong ransel. Padahal dia juga mantan MAPALA, dan tahu betul bahwa naik gunung itu nagih, untuk keteduhannya, untuk refleksi yang diberikannya, untuk sensasi nyut-nyutan di kaki, untuk suara detak jantung yang terdengar jelas di telinga, untuk pemandangan awan, bintang, matahari terbit dan untuk persahabatan yang terjalin di antara para pendaki. Tapi pada akhirnya doi selalu mengizinkan sih, karena gue rasa nyokap juga tahu kalau pemandangan seperti ini bukan pemandangan reguler harian, dan kenyataan bahwa kita perlu berjuang untuk melihatnya membuat pemandangan itu berkali-kali lipat lebih worth it untuk dinikmati.

Gue nggak begitu ingat berapa waktu yang dibutuhkan untuk mendaki dari Pondok Seladah – Hutan Mati – Tegal Alun. Yang gue ingat hanya Herman yang mengingatkan kami untuk menambah kecepatan, karena mendadak mendung lagi. Pingi menyebutkan sesuatu tentang “mungkin kelompok partai politik itu udah berkemah di daerah Pondok Seladah. Jadi, naturally, mereka manggil hujan.” Gue kok ya antara mau ngakak dan nelangsa juga mendengarnya. Berjalan di medan yang cukup datar, gue tahu Tegal Alun sudah di depan mata ketika Cinday dan Pingi memanggil-manggil gue dengan riang.

Tegal Alun. Edelweiss. Akhirnya.

I felt like running with my arms stretched in here

Bunga Edelweiss ini bunga original pegunungan-pegunungan tinggi seperti Himalaya dan Alpen. Namanya berasal dari bahasa Jerman yang artinya “noble” dan “pure”. Mereka disebut-sebut sebagai the star of the snow, karena warnanya yang putih bersih. Di banyak negara, Edelweiss termasuk tanaman yang dilindungi, artinya nggak boleh dipetik dan dibawa turun dari gunung. Katanya, dulu Edelweiss hanya tumbuh di tempat-tempat yang sulit dijangkau oleh manusia.

Star of the Snow

Kami menghabiskan cukup banyak waktu di padang Tegal Alun. Banyak merenung, banyak tertawa, merenung lagi, bahkan Pingi dan Herman sempat-sempatnya photoshoot dengan toga wisuda. Gue baru sadar kalau mereka bawa-bawa toga sampai ke atas. Sungguh berdedikasi.

“Laughter will always be the best medicine”
Ceritanya terharu melihat Pingi dengan toga

Gue mendaki gunung bukan karena ingin dunia — orang lain melihat gue sebagai pendaki gunung. Gue mendaki gunung justru supaya gue bisa melihat dunia, dari perspektif yang berbeda. Hari itu gue berdiri di depan hamparan Edelweiss, menarik nafas dalam-dalam dan berjanji pada diri sendiri untuk jadi seseorang yang lebih baik lagi begitu turun gunung. Jadi seperti Edelweiss yang bertahan dalam situasi keras, tetap pure  dan jujur pada diri sendiri. Pendakian ini jadi perjalanan penutup 2014 dan saat itu gue merasa 2015 akan jadi tahun yang banyak membawa perubahan, banyak tantangan dan petualangan-petualangan besar. Gugup? Nggak usah ditanya. Perubahan bukan hal yang mudah, tapi gue percaya bahwa ketika diletakkan dalam satu path , God provides you with wings.

 Ketika berjalan turun, tim yang isinya enam orang super ribut mendadak hening. Mungkin itu juga ya salah satu “mantra” nya gunung. Atau mungkin juga semua orang mulai lelah, atau mungkin karena kabut turun perlahan, semuanya mendadak gloomy. Kami kembali dalam keheningan yang tidak biasa, menuju Pondok Seladah, memasak sebentar, menanti hujan berhenti dan berjalan menuruni Gunung Papandayan.

Dan selalu, gue bersyukur.

Can you hear the woods calling?

Published by reylasano

she writes your stories

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: